-->
WAJAH TERAKHIR
Oleh : Avrilizha_Ningrum
Gadis itu masih menangis. Entah mengapa 3 hari belakangan ini ia selalu
menitikkan airmata. Kerjanya hanya melamun dan berbaring saja. Kadang senyum
melintas di wajah ovalnya, tapi sedetik kemudian ia kembali menangis, bahkan
berteriak histeris. Aku tak tau apa yang harus kulakukan, pernah ku coba
memeluknya, tapi ia malah semakin terisak dan pergi meninggalkanku. Ia lebih
memilih memeluk boneka lumba-lumba merah muda yang pernah ku beri dulu. Padahal
pelukanku jelas lebih hangat dari lumba-lumba itu.
”risa..” tegur seorang ibu yang baru saja masuk
kekamar gadis manis itu. ”makan dulu,yuk. sini mama suapin.” katanya sembari
duduk disamping kasur risa.
Aku memandangi mereka dari kursi di
meja komputer risa.
”aku aja yang suapin risa ya tan..” tawarku.
“ayo risa, buka mulutnya sayang. Biar mama yang suapin kamu. Atau kamu mau makan sendiri ?” ucap wanita
setengah baya itu.
Kadang aku merasa kesal dengan wanita tua itu,
seringkali aku dianggapnya tak ada, padahal aku hanya ingin membantunya menjaga
risa. Yang lebih membuatku kesal adalah wanita
itu sering memarahi risa, hanya karena risa menangis dan tak mau makan.
Padahal bisa jadi wanita tua itu yang membuat risa sedih.
”Risa.. tolong mamah dong sayang. Kamu nggak boleh
kaya gini terus. Ayo makan, mamah nggak mau kamu sakit.” ucapnya dan kembali
mencoba memasukkan makanan ke mulut risa, tapi lagi-lagi risa menolaknya.
Wanita itu melirik jam di dinding kamar risa.
”mamah ada janji sama tante widya, kamu makan
sendiri aja ya.” kata wanita itu. Ia mengelus dan mengecup pipi risa, lalu pergi meninggalkannya.
Aku berjalan menghampiri Risa, mengelus tangannya
yang selalu terasa lembut.
”risa sayang.. makan yah.”ucapku. Risa menarik tangannya dari belaianku. Ia
mencium tangannya sendiri dan mengelusnya berulangkali. Hingga airmatanya
kembali mengalir.
Risa.. aku salah apa.
¶¶¶¶¶¶
Angin
malam menembus masuk melalui celah ventilasi di kamar risa. Gadis itu meringkuk
kedinginan. Ia duduk dihadapan meja rias. Matanya sembab, hidungnya memerah,
bahkan pipinya pun bengkak. Airmata masih membasahi wajah manis itu. Ditangannya
tergenggam sebuah liontin yang ku beri saat ulang tahunnya yang ke 17, 3 bulan
yang lalu. aku masih ingat wajahnya waktu itu, senyum merekah di ujung
bibirnya, tak henti-henti dia mengucapkan terima kasih padaku, dan aku tau dia
bahagia. Tak seperti yang kulihat saat ini.
Risa memasukkan kalung itu
kedalam kardus kecil, dan beranjak mengambil boneka lumba-lumba lalu memeluknya
sebentar dan memasukkan boneka itu kedalam kardus yang sama. Kini ia melangkah
mengambil fotoku dari figura di atas meja ranjangnya dan lagi-lagi foto itu ia
masukkan kedalam kardus. Ia beralih membuka lemari dan mengambil sebuah buku
diary berwarna ungu, dibukanya tapi kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam
kardus. Saat itu airmatanya semakin deras. Ia terduduk lesu dilantai, dan
kembali menangis histeris. Risa
berteriak. Aku tak bisa mendengar jelas apa yang ia teriakkan. Risa
memukul-mukul lantai dan mengacak-acak rambutnya.
”Ris... risa ! kamu kenapa ? aku salah apa ?” tanyaku
sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Risa terdiam. Hanya suara isakannya yang
terdengar. Ia terduduk mematung. Badannya lemas. Hingga akhirnya ia jatuh
tersungkur di lantai. Pingsan.
”Ris.. bangun, ris !” teriakku. Aku mengangkat
tubuh risa, tapi terlepas. Kukerahkan seluruh tenaga, dan kembali mencoba
mengangkat tubuh risa, lagi-lagi terlepas. Kenapa ini ? aku tak bisa menyentuh
tubuh risa lagi.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Wanita tua
itu lagi.
”Risaa..” Teriaknya panik. Ia memeluk tubuh risa,
dan dengan mudah memindahkannya kekasur. ”Ris.. bangun, ris. Sadar. Ini mamah
nak.” ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi risa. Wanita itu lalu mengeluarkan hp
dari sakunya.
”halo, mas dhoni. Ardhi lagi di rumah sakit nggak
mas ? risa pingsan, saya takut dia kenapa-kenapa --- oh, kalau gitu besok
tolong suruh ardhi kerumah ya mas. --- makasih mas. .” mamah risa kembali
memasukkan hpnya kedalam saku.
¶¶¶¶¶¶
Ardhi. Sepertinya aku pernah
mendengar nama itu.
Ya, aku mengenalnya. Ardhitya Feddi Winata, dokter
muda yang akan dijodohkan dengan Risa. Lelaki yang membuat aku bertengkar dengan
Risa. Aku ingat kejadian hari itu. Seminggu yang lalu.
” kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku. Aku
udah nolak perjodohan itu mentah-mentah. Tapi mamah tetap maksa aku buat pacaran dulu sama dr. Ardhi. Kamu tau kan sejak papah meninggal, kami
kesulitan ekonomi. Kamu juga belum siap kan buat langsung nikahin aku kalau
kita udah lulus nanti ?” ucap risa. Hatiku membeku mendengar kenyataan bahwa
hubungan yang kami bina selama hampir 2 tahun harus berakhir hanya karena
perjodohan. Padahal sebelum papah risa meninggal, mamah risa menyetujui
hubungan kami.
”yaudah, nikah aja sana sama dokter muda yang kaya
itu.” ucapku kesal. Risa memukul meja dan beranjak meninggalkan aku. Sebenarnya
aku belum merelakan perjodohannya dengan ardhi, tapi memang benar apa yang
dikatakan risa, aku yang bahkan belum lulus SMA ini belum siap menikahinya.
Pulang sekolah aku melihat
risa dijemput seorang lelaki muda sekitar 25 tahun-an, lelaki itu membukakan
pintu mobil honda jazz hijau yang terlihat mewah. Aku tau lelaki itu pasti
dokter ardhi. Sejak hari itu dokter ardhi yang selalu mengantar jemput risa
kesekolah. Bahkan sejak kejadian itu, risa tak pernah berbicara denganku lagi.
Malam minggu pertama yang
kulalui tanpa risa. Aku memutuskan pergi ketempat tongkrongan yang tak pernah
lagi ku datangi sejak berpacaran dengan risa.
”eh, bay. Tumben kesini.” tegur bang alex, ketua di
tongkrongan ini. Aku hanya diam dan tersenyum, lalu melangkah menuju tempat
duduk di kursi pojok. ”udah lama banget nih kita nggak balapan. Tanding yuk !” ajaknya. Tanpa fikir
panjang akupun menyetujui ajakan itu.
Suara deru mobil pun kembali kudengar. Aku melaju
di lintasan balap yang tak pernah dilewati orang lain selain kami dan mobil
polisi tentunya. mobilku berada di belakang mobil bang alex. Aku mencoba
menyalip mobilnya, tapi gagal. Kulirik spedometer mobilku, 100 km/jam. Kutambah
kecepatan mobilku. Kucoba menghapus semua kenangan yang pernah kulalui dengan
risa. Tanpa sadar aku menangis, dan semakin aku melaju kencang, semakin deras
juga airmata yang keluar. Tiba-tiba terdengar sirine patroli polisi, aku
refleks menoleh kebelakang, dan ketika aku berbalik, mobilku sudah menabrak
mobil bang alex yang berhenti mendadak. Ternyata mobil polisi datang dari arah
depan. Mobilku mendorong mobil bang alex, aku mencoba mengerem, tetapi mobilku
malah berbalik 180˚. Kepalaku
menghantam atap mobil yang kini berada dibawah. Ada darah mengalir dari
belakang telingaku. Aku melihat mereka berlarian menuju kearahku. Ada banyak
wajah. Tetapi hanya satu wajah terakhir yang ada dalam bayangku. Wajah risa
yang tersenyum. Hingga akhirnya semua menjadi gelap.
Aku
tak tau apa yang terjadi setelah itu. Yang aku tau, ketika aku pertama kali
membuka mata, aku sudah berada dikamar ini. Dan yang pertama kali aku lihat
adalah sosok risa yang berbaring di atas kasur memakai baju dan kerudung hitam.
¶¶¶¶¶¶
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali terdengar suara klakson mobil dari depan rumah risa.
Aku mengintip dari balik jendela. Mamah risa segera membukakan pintu, dan menyuruh lelaki itu masuk, lalu
membawanya kekamar risa.
Lelaki
itu berjalan melewatiku, ia melirik kearahku lalu tersenyum. Tak seperti wanita
tua yang selalu cuek itu.
”risa pingsan dari tadi malam, sampai sekarang
belum bangun juga.” kata mamah risa.
”sebenarnya apa yang terjadi dengan risa tante ?”
”sudah tiga hari ini dia nggak mau makan dhi,
setiap hari Cuma melamun dan menangis. Semua itu terjadi sejak.. sejak risa
pulang dari pemakaman bayu.” jelas mamah risa sambil menitikkan airmata. Aku
tersentak. Pemakaman bayu ? yang benar saja. Aku bayu. Dan aku masih ada disini.
aku masih hidup. Ragaku masih utuh. Bagaimana mungkin aku dimakamkan.
”bayu, pacar risa ?”
”iya dhi. Mungkin semua ini gara-gara tante.
Karena tante yang sudah membuat mereka berpisah.” jawab mamah risa. Dokter
ardhi menatap kearahku. Aku menunduk. Masih tak percaya bila aku sudah tak
nyata. Lelaki itu masih menatapku.
”tante bikinin minum dulu ya dhi.”kata mamah risa,
ardhi mengangguk.
”loe bisa ngeliat gue ?” tanyaku.
“kenapa nggak ?” jawabnya sambil
tersenyum. “arwah kamu
gentayangan kan gara-aku. Kamu masih belum merelakan perjodohanku sama risa kan
?” sambungnya.
”jadi gue beneran udah meninggal ?” tanyaku lagi.
Dokter ardhi mencoba membangunkan risa dengan minyak kayu putih. Tapi risa
belum sadar juga.
”aku nggak ada maksud ngerebut risa dari kamu. Risa
nggak pernah cerita kalau dia udah punya pacar.” ucapnya. Nada suaranya datar
dan berwibawa.
”Gue udah meninggal, berarti gue nggak bisa
balikan sama risa lagi.”
”itu sih salah kamu. Siapa suruh pake ikutan
balapan liar segala. Padahal bisa aja kan jodohnya risa itu kamu.” kata dokter
itu lagi. ”tapi kalo gini ceritanya, bisa aja risa itu jodoh aku.” sambungnya.
Kali ini ia mencoba membangunkan risa dengan alkohol.
”jadi gue harus ngerelain risa nikah sama loe ?”
“Cuma itu satu-satunya cara biar
kamu bisa istirahat dengan tenang.” Jawabnya. Aku terdiam dan terduduk lesu. Ketika
takdir terasa begitu kejam, disaat itulah kita hanya bisa pasrah dan berserah.
“ris...” kata dokter ardhi lembut. Aku memandang
ke arah risa. Dia sudah
sadar.
”mas ardhi..” ucapnya lirih. Kata pertama yang ku dengar dari
bibir manis risa sejak kami bertengkar. Risa menyebut nama pria lain dan aku mencoba merelakannya. Kulihat lelaki
itu melirik kearahku. Aku pun mengangguk dan tersenyum.
”kamu nggak boleh gini lagi ya. Bayu udah tenang
kok dialam sana.” ucapnya. Risa mengangguk dan memeluk dokter ardhi.
Perlahan
kurasakan sedikit demi sedikit bagian tubuhku lenyap. Hingga akhirnya pandanganku kabur dan kedua sosok
itu pun menghilang. Atau mungkin aku yang menghilang.
«T«H«E««E«N«D«
Tidak ada komentar:
Posting Komentar