. WeLCoMe to mY excLuSSive zOnE . thank's for visiting... ^_+

Jumat, 14 September 2012

CERPEN : Wajah Terakhir (Avrilizha_Ningrum)

-->
WAJAH TERAKHIR
Oleh  : Avrilizha_Ningrum

Gadis itu masih menangis. Entah mengapa 3 hari belakangan ini ia selalu menitikkan airmata. Kerjanya hanya melamun dan berbaring saja. Kadang senyum melintas di wajah ovalnya, tapi sedetik kemudian ia kembali menangis, bahkan berteriak histeris. Aku tak tau apa yang harus kulakukan, pernah ku coba memeluknya, tapi ia malah semakin terisak dan pergi meninggalkanku. Ia lebih memilih memeluk boneka lumba-lumba merah muda yang pernah ku beri dulu. Padahal pelukanku jelas lebih hangat dari lumba-lumba itu.
”risa..” tegur seorang ibu yang baru saja masuk kekamar gadis manis itu. ”makan dulu,yuk. sini mama suapin.” katanya sembari duduk disamping kasur risa.
Aku memandangi mereka dari kursi di meja komputer risa.
”aku aja yang suapin risa ya tan..” tawarku.
“ayo risa, buka mulutnya sayang. Biar mama yang suapin kamu. Atau kamu mau makan sendiri ?” ucap wanita setengah baya itu.
Kadang aku merasa kesal dengan wanita tua itu, seringkali aku dianggapnya tak ada, padahal aku hanya ingin membantunya menjaga risa. Yang lebih membuatku kesal adalah wanita  itu sering memarahi risa, hanya karena risa menangis dan tak mau makan. Padahal bisa jadi wanita tua itu yang membuat risa sedih.
”Risa.. tolong mamah dong sayang. Kamu nggak boleh kaya gini terus. Ayo makan, mamah nggak mau kamu sakit.” ucapnya dan kembali mencoba memasukkan makanan ke mulut risa, tapi lagi-lagi risa menolaknya.
Wanita itu melirik jam di dinding kamar risa.
”mamah ada janji sama tante widya, kamu makan sendiri aja ya.” kata wanita itu. Ia mengelus dan mengecup pipi risa, lalu pergi meninggalkannya.
Aku berjalan menghampiri Risa, mengelus tangannya yang selalu terasa lembut.
”risa sayang.. makan yah.”ucapku. Risa menarik tangannya dari belaianku. Ia mencium tangannya sendiri dan mengelusnya berulangkali. Hingga airmatanya kembali mengalir.
Risa.. aku salah apa.
¶¶¶¶¶¶
            Angin malam menembus masuk melalui celah ventilasi di kamar risa. Gadis itu meringkuk kedinginan. Ia duduk dihadapan meja rias. Matanya sembab, hidungnya memerah, bahkan pipinya pun bengkak. Airmata masih membasahi wajah manis itu. Ditangannya tergenggam sebuah liontin yang ku beri saat ulang tahunnya yang ke 17, 3 bulan yang lalu. aku masih ingat wajahnya waktu itu, senyum merekah di ujung bibirnya, tak henti-henti dia mengucapkan terima kasih padaku, dan aku tau dia bahagia. Tak seperti yang kulihat saat ini.
Risa memasukkan kalung itu kedalam kardus kecil, dan beranjak mengambil boneka lumba-lumba lalu memeluknya sebentar dan memasukkan boneka itu kedalam kardus yang sama. Kini ia melangkah mengambil fotoku dari figura di atas meja ranjangnya dan lagi-lagi foto itu ia masukkan kedalam kardus. Ia beralih membuka lemari dan mengambil sebuah buku diary berwarna ungu, dibukanya tapi kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam kardus. Saat itu airmatanya semakin deras. Ia terduduk lesu dilantai, dan kembali menangis histeris. Risa berteriak. Aku tak bisa mendengar jelas apa yang ia teriakkan. Risa memukul-mukul lantai dan mengacak-acak rambutnya.
”Ris... risa ! kamu kenapa ? aku salah apa ?” tanyaku sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Risa terdiam. Hanya suara isakannya yang terdengar. Ia terduduk mematung. Badannya lemas. Hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di lantai. Pingsan.
”Ris.. bangun, ris !” teriakku. Aku mengangkat tubuh risa, tapi terlepas. Kukerahkan seluruh tenaga, dan kembali mencoba mengangkat tubuh risa, lagi-lagi terlepas. Kenapa ini ? aku tak bisa menyentuh tubuh risa lagi.
            Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Wanita tua itu lagi.
”Risaa..” Teriaknya panik. Ia memeluk tubuh risa, dan dengan mudah memindahkannya kekasur. ”Ris.. bangun, ris. Sadar. Ini mamah nak.” ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi risa. Wanita itu lalu mengeluarkan hp dari sakunya.
”halo, mas dhoni. Ardhi lagi di rumah sakit nggak mas ? risa pingsan, saya takut dia kenapa-kenapa --- oh, kalau gitu besok tolong suruh ardhi kerumah ya mas. --- makasih mas. .” mamah risa kembali memasukkan hpnya kedalam saku.
¶¶¶¶¶¶


Ardhi. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
Ya, aku mengenalnya. Ardhitya Feddi Winata, dokter muda yang akan dijodohkan dengan Risa. Lelaki yang membuat aku bertengkar dengan Risa. Aku ingat kejadian hari itu. Seminggu yang lalu.
” kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku. Aku udah nolak perjodohan itu mentah-mentah. Tapi mamah tetap maksa aku buat pacaran dulu sama dr. Ardhi. Kamu tau kan sejak papah meninggal, kami kesulitan ekonomi. Kamu juga belum siap kan buat langsung nikahin aku kalau kita udah lulus nanti ?” ucap risa. Hatiku membeku mendengar kenyataan bahwa hubungan yang kami bina selama hampir 2 tahun harus berakhir hanya karena perjodohan. Padahal sebelum papah risa meninggal, mamah risa menyetujui hubungan kami.
”yaudah, nikah aja sana sama dokter muda yang kaya itu.” ucapku kesal. Risa memukul meja dan beranjak meninggalkan aku. Sebenarnya aku belum merelakan perjodohannya dengan ardhi, tapi memang benar apa yang dikatakan risa, aku yang bahkan belum lulus SMA ini belum siap menikahinya.
Pulang sekolah aku melihat risa dijemput seorang lelaki muda sekitar 25 tahun-an, lelaki itu membukakan pintu mobil honda jazz hijau yang terlihat mewah. Aku tau lelaki itu pasti dokter ardhi. Sejak hari itu dokter ardhi yang selalu mengantar jemput risa kesekolah. Bahkan sejak kejadian itu, risa tak pernah berbicara denganku lagi.
Malam minggu pertama yang kulalui tanpa risa. Aku memutuskan pergi ketempat tongkrongan yang tak pernah lagi ku datangi sejak berpacaran dengan risa.
”eh, bay. Tumben kesini.” tegur bang alex, ketua di tongkrongan ini. Aku hanya diam dan tersenyum, lalu melangkah menuju tempat duduk di kursi pojok. ”udah lama banget nih kita nggak balapan. Tanding yuk !” ajaknya. Tanpa fikir panjang akupun menyetujui ajakan itu.
Suara deru mobil pun kembali kudengar. Aku melaju di lintasan balap yang tak pernah dilewati orang lain selain kami dan mobil polisi tentunya. mobilku berada di belakang mobil bang alex. Aku mencoba menyalip mobilnya, tapi gagal. Kulirik spedometer mobilku, 100 km/jam. Kutambah kecepatan mobilku. Kucoba menghapus semua kenangan yang pernah kulalui dengan risa. Tanpa sadar aku menangis, dan semakin aku melaju kencang, semakin deras juga airmata yang keluar. Tiba-tiba terdengar sirine patroli polisi, aku refleks menoleh kebelakang, dan ketika aku berbalik, mobilku sudah menabrak mobil bang alex yang berhenti mendadak. Ternyata mobil polisi datang dari arah depan. Mobilku mendorong mobil bang alex, aku mencoba mengerem, tetapi mobilku malah berbalik 180˚. Kepalaku menghantam atap mobil yang kini berada dibawah. Ada darah mengalir dari belakang telingaku. Aku melihat mereka berlarian menuju kearahku. Ada banyak wajah. Tetapi hanya satu wajah terakhir yang ada dalam bayangku. Wajah risa yang tersenyum. Hingga akhirnya semua menjadi gelap.
            Aku tak tau apa yang terjadi setelah itu. Yang aku tau, ketika aku pertama kali membuka mata, aku sudah berada dikamar ini. Dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok risa yang berbaring di atas kasur memakai baju dan kerudung hitam.
¶¶¶¶¶¶

            Keesokan harinya, pagi-pagi sekali terdengar suara klakson mobil dari depan rumah risa. Aku mengintip dari balik jendela. Mamah risa segera membukakan pintu, dan menyuruh lelaki itu masuk, lalu membawanya kekamar risa.
            Lelaki itu berjalan melewatiku, ia melirik kearahku lalu tersenyum. Tak seperti wanita tua yang selalu cuek itu.
”risa pingsan dari tadi malam, sampai sekarang belum bangun juga.” kata mamah risa.
”sebenarnya apa yang terjadi dengan risa tante ?”
”sudah tiga hari ini dia nggak mau makan dhi, setiap hari Cuma melamun dan menangis. Semua itu terjadi sejak.. sejak risa pulang dari pemakaman bayu.” jelas mamah risa sambil menitikkan airmata. Aku tersentak. Pemakaman bayu ? yang benar saja. Aku bayu. Dan aku masih ada disini. aku masih hidup. Ragaku masih utuh. Bagaimana mungkin aku dimakamkan.
”bayu, pacar risa ?”
”iya dhi. Mungkin semua ini gara-gara tante. Karena tante yang sudah membuat mereka berpisah.” jawab mamah risa. Dokter ardhi menatap kearahku. Aku menunduk. Masih tak percaya bila aku sudah tak nyata. Lelaki itu masih menatapku.
”tante bikinin minum dulu ya dhi.”kata mamah risa, ardhi mengangguk.
”loe bisa ngeliat gue ?” tanyaku.
“kenapa nggak ?” jawabnya sambil tersenyum. “arwah kamu gentayangan kan gara-aku. Kamu masih belum merelakan perjodohanku sama risa kan ?” sambungnya.
”jadi gue beneran udah meninggal ?” tanyaku lagi. Dokter ardhi mencoba membangunkan risa dengan minyak kayu putih. Tapi risa belum sadar juga.
”aku nggak ada maksud ngerebut risa dari kamu. Risa nggak pernah cerita kalau dia udah punya pacar.” ucapnya. Nada suaranya datar dan berwibawa.
”Gue udah meninggal, berarti gue nggak bisa balikan sama risa lagi.”
”itu sih salah kamu. Siapa suruh pake ikutan balapan liar segala. Padahal bisa aja kan jodohnya risa itu kamu.” kata dokter itu lagi. ”tapi kalo gini ceritanya, bisa aja risa itu jodoh aku.” sambungnya. Kali ini ia mencoba membangunkan risa dengan alkohol.
”jadi gue harus ngerelain risa nikah sama loe ?”
“Cuma itu satu-satunya cara biar kamu bisa istirahat dengan tenang.” Jawabnya. Aku terdiam dan terduduk lesu. Ketika takdir terasa begitu kejam, disaat itulah kita hanya bisa pasrah dan berserah.
“ris...” kata dokter ardhi lembut. Aku memandang ke arah risa. Dia sudah sadar.
”mas ardhi..” ucapnya lirih. Kata pertama yang ku dengar dari bibir manis risa sejak kami bertengkar. Risa menyebut nama pria lain dan aku mencoba merelakannya. Kulihat lelaki itu melirik kearahku. Aku pun mengangguk dan tersenyum.
”kamu nggak boleh gini lagi ya. Bayu udah tenang kok dialam sana.” ucapnya. Risa mengangguk dan memeluk dokter ardhi.
            Perlahan kurasakan sedikit demi sedikit bagian tubuhku lenyap. Hingga akhirnya pandanganku kabur dan kedua sosok itu pun menghilang. Atau mungkin aku yang menghilang.

«T«H«E««E«N«D«

Tidak ada komentar:

Posting Komentar