. WeLCoMe to mY excLuSSive zOnE . thank's for visiting... ^_+

Kamis, 11 Oktober 2012

CERPEN : Our First And Our Last


                                                                     Oleh : Avrilizha_Ningrum

Namanya Zinetta. Gadis berambut panjang, bertubuh semampai, dan berhidung sedikit mancung.  Pancaran matanya bak lukisan pelangi yang berwarna-warni, begitu indah bila mataku bisa menangkap pandangan matanya lagi. Kami pernah bertemu ditempat ini seminggu yang lalu. Aku kasihan melihatnya. Tubuh indahnya basah kuyup diguyur hujan malam ini. Aku berlari mendekatinya dan memayunginya dengan payungku. Kini aku dan Zinetta berada dibawah satu payung yang sama.
“hai, makasih.” Ucapnya lembut. Suara itu selalu terngiang ditelingaku, bahkan sampai saat ini.
“sama-sama. Aku faizal.” Aku mengulurkan tanganku. Ia tersenyum. Manis sekali.
“Zinetta.” Jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
“mau pulang ? aku antar ya...”
“eh, jangan. aku lagi nunggu temen. Mungkin bentar lagi datang.”
“temen.. atau pacar ?” tanyaku. Wajah manisnya memerah.
“kalau pacar, kenapa ?” tanyanya. Dia tertawa.
“hmmm...”
“oh iya, kamu mau kemana ?”
“aku ? nggak kemana-mana. Aku tinggal ditoko mainan seberang sana, tadi aku lihat kamu sendirian terus basah kuyup. Makanya aku antarin payung.” Jelasku. Tiba-tiba hp zinetta berbunyi. Sms masuk kaya’nya. Zinetta membaca sms itu. Dan wajahnya berubah muram seketika.
“Handy nggak bisa jemput.” Jawabnya. Aku melirik hp zanetta, dan putus asa ketika melihat wallpaper di hp zanetta. Fotonya bersama seorang lelaki. Aku yakin itu handy.
“oh, bawa aja payungnya. Aku yakin kamu pasti nggak mau aku antar.”
“beneran ? besok aku balikin deh.”
“oke. Jam 7 ditempat ini.” Jawabku. Gadis itu kembali tersenyum dan langsung berlari menembus hujan. Meninggalkan sebuah rasa yang bersarang di dadaku. Yang langsung membeku, tapi menghangatkan jiwaku.

Zinetta. Dia masih berdiri disitu. Menanti seseorang yang pernah berjanji akan menemuinya lagi di tempat itu. Kali ini tak ada hujan. Tapi Zinetta membawa payung pinjaman itu. Wajahnya kesal. Mungkin karena terlalu lama menunggu. Tapi siapa yang ia tunggu. Seorang pria kah ? tidakkah pria itu sadar bahwa Zinetta tak suka menunggu. Ahh... atau jangan-jangan si brengsek Handy yang membuatnya kesal. Pria itu kemarin sudah membuat Zinetta menunggu berjam-jam. Masa malam ini dia tega membiarkan Zinetta menunggu lagi. Payah...
Aku menatap jam dinding di toko mainan tempatku bekerja. Jam 9 malam. Berarti dua jam sudah gadis itu berdiri mematung sambil menggenggam payung hitam milikku. Aku tak mengerti, kenapa gadis itu tidak pulang saja kerumahnya. Padahal yang ditunggunya sudah pasti tak akan datang. Hmmm... pria itu. pria pengecut yang bisanya melukai hati Zinetta-ku. Aku tau kejadian malam itu. Aku tau yang dilakukan Handy saat itu, sampai-sampai ia tega membiarkan Zinetta-ku sendirian dibawah hujan.
Kemarin, setelah melihat Zinetta pulang membawa payungku, aku bergegas kembali ke toko. Hanya saja tiba-tiba mataku menatap dua sosok yang keluar dari dalam restoran tepat di sebelah toko mainanku. Mereka berpelukan erat. Aku yakin mereka berpasangan. Dan aku mengenal salah satu dari mereka. Mereka masuk kedalam mobil. Aku bergegas mengeluarkan sepeda motorku dari kandangnya.
“Itu pasti dia... brengsek .” kataku kesal.
Kutambah laju sepeda motorku. Aku tepat berada dibelakang mereka. Mereka pergi lumayan jauh, melewati beberapa tikungan, dan memasuki banyak jalan kecil. Aku terus mengendarai motorku, meskipun saat ini tubuhku benar-benar basah kuyup. Aku tak peduli. Sampai akhirnya mereka berhenti tepat dihaloaman sebuah bar. Aku melihat mereka turun. Dan lagi-lagi berpelukan. Aku mengikuti mereka masuk ke dalam bar.
“hei, guys. I am coming.” Kata pria itu sambil tertawa dan duduk di sofa yang sudah dipenuhi beberapa pasangan.
“hei you. Long time no see.” Jawab pria yang satunya.
“haha.. sibuk bro...” jawab pria brengsek itu. Kali ini ia duduk sambil memangku pasangannya tadi.
“heii.. Handy Prayoga. Baru lagi nih pasangangannya “
“ahh.. yang kemaren nggak asik bro. Nggak bisa di ajak asik.” Kata pria bernama Handy itu sambil tertawa. Ia menenggak segelas minuman yang ada dihadapannya. Aku yakin itu minuman keras.
“si Zinetta itu kan ? ahh.. dia mah emang anak baik-baik.”
“percuma baik, kalo nggak asik.” Jawab Handy.
“emang yang asik kaya’ gimana han ?”
“Kaya Saras dong. Iya kan sayang ?” ucapnya. Gadis dipangkuannya tersenyum.
“hmmm... turun gih sana. Musiknya asik tuh.”
“Oke bro. Tinggal dulu ya. Turun yo beibh.” Ajak Handy. Gadis itu menurut dan mengikuti Handy turun ke lantai disco. Aku menatap mereka dari kejauhan. Mencoba meredam emosi atas penghinaan Handy terhadap Zinetta, Aku berlari mengejar pria itu, kutangkap tangannya, dan ku putar kebelakang.
“Hei, Whats wrong ?”
“Brengsek lo. Lo udah bikin Zinetta kesal malam ini.”Bentakku tegas.
“oo.. jadi lo pacar barunya Zinetta ? ambil gih sono..”
“Tapi lo nggak bisa seenaknya ngehina Zinetta .” kesalku. Aku melayangkan sebuah pukulan telak di wajahnya, tubuh Handy terpental kebelakang. Aku tersenyum puas.
            Tapi tiba-tiba beberapa orang memegangi tanganku dan menyeretku keluar dari bar itu. Aku melirik wajah mereka satu persatu, wajah sangar para pria berbadan lebar itu membuat nyaliku menciut. Handy dan teman-temannya membawaku kebelakang bar. Aku gemetar. Bukan karena kedinginan.
“Berani-beraninya lo nonjok gue. Rasain nih.” Ucap Handy sambil mendaratkan pukulan di perutku. Aku ingin membalas, tapi kedua tanganku masih terkunci kebelakang. Raksasa- raksasa buto ijo itu dengan mudah menahanku.
“Arrrghh..” Aku hanya bisa berteriak, sambil terus menikmati pukulan-pukulan yang ditujukan Handy ke perutku. Sampai akhirnya, air kental berwarna merah kehitam-hitaman itu keluar dari mulutku.
“Segitu doang udah K.O . payah lo.” Ucap Handy, ia dan teman-temannya meninggalkanku yang kini tergeletak sendirian. Perutku beku. Bahkan aku merasa tidak lagi memiliki perut. Aku meraba setiap bagian tubuhku. Masih lengkap, tapi aku merasa seperti tidak memiliki satu bagian pun. Aku ketakutan. Semuanya gelap. Gelap. Gelap dan hilang.
            Malam ini hujan turun lagi dengan derasnya. Aku berdiri tepat ditempat biasa Zinetta menunggu jemputan kekasihnya, Handy. Malam ini aku harus mendapatkan kembali payungku, kalau tidak aku tak bisa mengantarkan mainan pesanan anak-anak di perumahan elit. aku tak mengira malam ini hujan deras, kalau tau begitu kenapa tidak dari kemarin saja aku ambil payung itu.
            Kemarin ? ya kemarin. Padahal aku melihatnya. Padahal aku tau dia menungguku. Padahal aku berniat mendatanginya. Padahal...
            Ahh.. itu dia, Zinetta datang. Ia membawa dua buah payung. Ia memakai payungnya yang berwarna merah muda. Sementara payungku didekap dengan tangan kirinya. Aku merasakan kehangatan itu.
            Kini Zinetta berdiri tepat disampingku, aku hampir saja ingin memulai pembicaraan ketika seorang ibu-ibu mendahuluiku menegur Zinetta.
“Itu payungnya Faizal kan ?” tanya ibu-ibu setengah baya itu. Zinetta mengangguk.
“iya bu, ini mau saya balikin.” Jawab Zinetta. Suaranya benar-benar membuat hatiku bergetar.
“kalau begitu mari ikut ibu kerumah, nak. Rumah ibu ditoko mainan itu.”
“oh, mari bu.” Jawab Zinetta mengikuti ibu-ibu itu melangkah menuju toko mainanku.
Aku berjalan dibelakang mereka.
“ayo masuk nak, duduk saja disitu.”
“iya bu. Faizalnya kemana ya ?”
“ada.”
“boleh tolong dipanggilin ?”
“faizal, ada di pemakaman.”
“malam-malam gini ? kalau boleh tau pemakaman siapa bu ?” tanya zinetta. Aku tak mengerti mengapa ibu itu berbohong. Jelas-jelas aku ada disini, diantara mereka.
“pemakaman faizal.” Jawab ibu itu, ia meneteskan airmata. “kemarin malam dia dipukuli orang di bar. Ibu nggak tau siapa, tadi polisi menelpon, mereka bilang sudah berhasil menangkap pelakunya. Tapi ibu belum sempat pergi kesana.”
“Ibu serius ? fa.. faizal meninggal ?”
“nggak ta, aku disini. Disamping kamu. Jangan percaya sama ibu itu.” Teriakku. Aku mencoba menyentuh tangan zinetta. Tapi aku merasa seperti tak memiliki tangan. Aku tak bisa menyentuhnya.
“Jawab bu, ibu bercanda kan ?” tanya zinetta lagi. Tangis ibu itu semakin menjadi.
            Zinetta berlari meninggalkan toko mainanku. Bahkan payungnya pun tertinggal, ia basah kuyup lagi. Aku mencoba meraih payungnya, tapi benar-benar tak tersentuh.
            Aku berlari mengejar zinetta. Ia masuk kedalam taksi, untunglah aku sempat ikut masuk kedalam taksi tersebut.
“Kantor polisi, pak.” Ucap Zinetta.
“kamu mau ngapain kekantor polisi ta ?” tanyaku. Ia mengacuhkanku.
Hujan diluar semakin deras, kilat menyambar berkali-kali, suasana menyeramkan. Aku benci suasana ini.
“stop disini pak.” Ucap Zinetta ketika taksi kami akhirnya berhenti didepan sebuah kantor polisi.
            Zinetta segera berlari masuk ke kantor polisi.
“pak, tersangka yang mukulin Faizal di Bar dimana ya ?”
“Oo, masuk aja mbak ke ruangan itu.”
“makasih pak.”
            Zinetta masuk kedalam ruangan yang ditunjuk polisi tadi. Aku masih mengikutinya. Aku terkejut ketika mengetahui Handy and the gank ada didalam ruangan itu.
“Handy ?”
“Zinetta ?”
“kamu ngapain disini ?”
“pake nanya. nggak tau apa kalau ini semua gara-gara cowo baru lo itu ?”
“cowo baru ? siapa . . .”
“alaaah, nggak usah sok innocent gitu deh ta. Cowo lo tu yang nyerang gue duluan. Makanya gue sama temen-temen jadi mukulin dia dibelakang bar.”
“apa ? ja.. jadi kamu yang mukulin faizal ?”
“oh, jadi namanya faizal ?” tanya handy. Zinetta tersenyum.
“jadi ini yang namanya zinetta ? cewe yang kamu bilang payah dan nggak asik itu yank ?” ucap pacar baru Handy. Aku muak melihat mereka. Aku pergi keluar ruangan itu, dan duduk di ruang tunggu di luar kantor polisi.
“Tuhan, jadi aku benar-benar sudah meninggal ? tapi kenapa tubuhku masih gentayangan ?” Tanyaku dalam hati. Tiba-tiba Zinetta duduk disebelahku. Ia menangis.
“Faizal, kamu kok senekad itu sih ?” ucapnya, matanya menerawang langit-langit di ruang tunggu. “harusnya kamu nggak ke bar malam itu. Harusnya kamu tau kalo aku punya niat mau mutusin Handy. Dan yang harus kamu tau, aku pengen mutusin Handy karena kamu. Karena aku... pengen pedekate sama kamu. Karena aku... aku suka sama kamu.”
            Aku tersenyum, meskipun menyesal. Ternyata pertemuan malam itu adalah pertemuan pertama dan terakhir aku dan Zinetta. Tapi aku tetap tersenyum, karena aku tau Zinetta juga suka sama aku.
            Kubiarkan tubuhku melayang di udara. Aku tau, yang membuat aku penasaran adalah bagaimana perasaan Zinetta ke aku. Dan sekarang aku tau jawabannya. Aku harus pergi.
«T«H«E««E«N«D«


Tidak ada komentar:

Posting Komentar