Oleh : Avrilizha_Ningrum
Namanya
Zinetta. Gadis berambut panjang, bertubuh semampai, dan berhidung sedikit
mancung. Pancaran matanya bak lukisan
pelangi yang berwarna-warni, begitu indah bila mataku bisa menangkap pandangan
matanya lagi. Kami pernah bertemu ditempat ini seminggu yang lalu. Aku kasihan
melihatnya. Tubuh indahnya basah kuyup diguyur hujan malam ini. Aku berlari
mendekatinya dan memayunginya dengan payungku. Kini aku dan Zinetta berada
dibawah satu payung yang sama.
“hai,
makasih.” Ucapnya lembut. Suara itu selalu terngiang ditelingaku, bahkan sampai
saat ini.
“sama-sama.
Aku faizal.” Aku mengulurkan tanganku. Ia tersenyum. Manis sekali.
“Zinetta.”
Jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
“mau
pulang ? aku antar ya...”
“eh,
jangan. aku lagi nunggu temen. Mungkin bentar lagi datang.”
“temen..
atau pacar ?” tanyaku. Wajah manisnya memerah.
“kalau
pacar, kenapa ?” tanyanya. Dia tertawa.
“hmmm...”
“oh
iya, kamu mau kemana ?”
“aku
? nggak kemana-mana. Aku tinggal ditoko mainan seberang sana, tadi aku lihat
kamu sendirian terus basah kuyup. Makanya aku antarin payung.” Jelasku.
Tiba-tiba hp zinetta berbunyi. Sms masuk kaya’nya. Zinetta membaca sms itu. Dan
wajahnya berubah muram seketika.
“Handy
nggak bisa jemput.” Jawabnya. Aku melirik hp zanetta, dan putus asa ketika
melihat wallpaper di hp zanetta. Fotonya bersama seorang lelaki. Aku yakin itu
handy.
“oh,
bawa aja payungnya. Aku yakin kamu pasti nggak mau aku antar.”
“beneran
? besok aku balikin deh.”
“oke.
Jam 7 ditempat ini.” Jawabku. Gadis itu kembali tersenyum dan langsung berlari
menembus hujan. Meninggalkan sebuah rasa yang bersarang di dadaku. Yang
langsung membeku, tapi menghangatkan jiwaku.
¶¶¶¶¶¶
Zinetta.
Dia masih berdiri disitu. Menanti seseorang yang pernah berjanji akan
menemuinya lagi di tempat itu. Kali ini tak ada hujan. Tapi Zinetta membawa
payung pinjaman itu. Wajahnya kesal. Mungkin karena terlalu lama menunggu. Tapi
siapa yang ia tunggu. Seorang pria kah ? tidakkah pria itu sadar bahwa Zinetta
tak suka menunggu. Ahh... atau jangan-jangan si brengsek Handy yang membuatnya
kesal. Pria itu kemarin sudah membuat Zinetta menunggu berjam-jam. Masa malam
ini dia tega membiarkan Zinetta menunggu lagi. Payah...
Aku
menatap jam dinding di toko mainan tempatku bekerja. Jam 9 malam. Berarti dua
jam sudah gadis itu berdiri mematung sambil menggenggam payung hitam milikku.
Aku tak mengerti, kenapa gadis itu tidak pulang saja kerumahnya. Padahal yang
ditunggunya sudah pasti tak akan datang. Hmmm... pria itu. pria pengecut yang
bisanya melukai hati Zinetta-ku. Aku tau kejadian malam itu. Aku tau yang
dilakukan Handy saat itu, sampai-sampai ia tega membiarkan Zinetta-ku sendirian
dibawah hujan.
Kemarin,
setelah melihat Zinetta pulang membawa payungku, aku bergegas kembali ke toko.
Hanya saja tiba-tiba mataku menatap dua sosok yang keluar dari dalam restoran
tepat di sebelah toko mainanku. Mereka berpelukan erat. Aku yakin mereka
berpasangan. Dan aku mengenal salah satu dari mereka. Mereka masuk kedalam
mobil. Aku bergegas mengeluarkan sepeda motorku dari kandangnya.
“Itu
pasti dia... brengsek .” kataku kesal.
Kutambah
laju sepeda motorku. Aku tepat berada dibelakang mereka. Mereka pergi lumayan
jauh, melewati beberapa tikungan, dan memasuki banyak jalan kecil. Aku terus
mengendarai motorku, meskipun saat ini tubuhku benar-benar basah kuyup. Aku tak
peduli. Sampai akhirnya mereka berhenti tepat dihaloaman sebuah bar. Aku
melihat mereka turun. Dan lagi-lagi berpelukan. Aku mengikuti mereka masuk ke
dalam bar.
“hei,
guys. I am coming.” Kata pria itu sambil tertawa dan duduk di sofa yang sudah
dipenuhi beberapa pasangan.
“hei
you. Long time no see.” Jawab pria yang satunya.
“haha..
sibuk bro...” jawab pria brengsek itu. Kali ini ia duduk sambil memangku
pasangannya tadi.
“heii..
Handy Prayoga. Baru lagi nih pasangangannya “
“ahh..
yang kemaren nggak asik bro. Nggak bisa di ajak asik.” Kata pria bernama Handy
itu sambil tertawa. Ia menenggak segelas minuman yang ada dihadapannya. Aku yakin
itu minuman keras.
“si
Zinetta itu kan ? ahh.. dia mah emang anak baik-baik.”
“percuma
baik, kalo nggak asik.” Jawab Handy.
“emang
yang asik kaya’ gimana han ?”
“Kaya
Saras dong. Iya kan sayang ?” ucapnya. Gadis dipangkuannya tersenyum.
“hmmm...
turun gih sana. Musiknya asik tuh.”
“Oke
bro. Tinggal dulu ya. Turun yo beibh.” Ajak Handy. Gadis itu menurut dan
mengikuti Handy turun ke lantai disco. Aku menatap mereka dari kejauhan.
Mencoba meredam emosi atas penghinaan Handy terhadap Zinetta, Aku berlari
mengejar pria itu, kutangkap tangannya, dan ku putar kebelakang.
“Hei,
Whats wrong ?”
“Brengsek
lo. Lo udah bikin Zinetta kesal malam ini.”Bentakku tegas.
“oo..
jadi lo pacar barunya Zinetta ? ambil gih sono..”
“Tapi
lo nggak bisa seenaknya ngehina Zinetta .” kesalku. Aku melayangkan sebuah
pukulan telak di wajahnya, tubuh Handy terpental kebelakang. Aku tersenyum
puas.
Tapi tiba-tiba beberapa orang
memegangi tanganku dan menyeretku keluar dari bar itu. Aku melirik wajah mereka
satu persatu, wajah sangar para pria berbadan lebar itu membuat nyaliku
menciut. Handy dan teman-temannya membawaku kebelakang bar. Aku gemetar. Bukan
karena kedinginan.
“Berani-beraninya
lo nonjok gue. Rasain nih.” Ucap Handy sambil mendaratkan pukulan di perutku.
Aku ingin membalas, tapi kedua tanganku masih terkunci kebelakang. Raksasa-
raksasa buto ijo itu dengan mudah menahanku.
“Arrrghh..”
Aku hanya bisa berteriak, sambil terus menikmati pukulan-pukulan yang ditujukan
Handy ke perutku. Sampai akhirnya, air kental berwarna merah kehitam-hitaman
itu keluar dari mulutku.
“Segitu
doang udah K.O . payah lo.” Ucap Handy, ia dan teman-temannya meninggalkanku
yang kini tergeletak sendirian. Perutku beku. Bahkan aku merasa tidak lagi
memiliki perut. Aku meraba setiap bagian tubuhku. Masih lengkap, tapi aku
merasa seperti tidak memiliki satu bagian pun. Aku ketakutan. Semuanya gelap.
Gelap. Gelap dan hilang.
¶¶¶¶¶¶
Malam ini hujan turun lagi dengan
derasnya. Aku berdiri tepat ditempat biasa Zinetta menunggu jemputan
kekasihnya, Handy. Malam ini aku harus mendapatkan kembali payungku, kalau
tidak aku tak bisa mengantarkan mainan pesanan anak-anak di perumahan elit. aku
tak mengira malam ini hujan deras, kalau tau begitu kenapa tidak dari kemarin
saja aku ambil payung itu.
Kemarin ? ya kemarin. Padahal aku
melihatnya. Padahal aku tau dia menungguku. Padahal aku berniat mendatanginya.
Padahal...
Ahh.. itu dia, Zinetta datang. Ia
membawa dua buah payung. Ia memakai payungnya yang berwarna merah muda.
Sementara payungku didekap dengan tangan kirinya. Aku merasakan kehangatan itu.
Kini Zinetta berdiri tepat
disampingku, aku hampir saja ingin memulai pembicaraan ketika seorang ibu-ibu
mendahuluiku menegur Zinetta.
“Itu
payungnya Faizal kan ?” tanya ibu-ibu setengah baya itu. Zinetta mengangguk.
“iya
bu, ini mau saya balikin.” Jawab Zinetta. Suaranya benar-benar membuat hatiku
bergetar.
“kalau
begitu mari ikut ibu kerumah, nak. Rumah ibu ditoko mainan itu.”
“oh,
mari bu.” Jawab Zinetta mengikuti ibu-ibu itu melangkah menuju toko mainanku.
Aku
berjalan dibelakang mereka.
“ayo
masuk nak, duduk saja disitu.”
“iya
bu. Faizalnya kemana ya ?”
“ada.”
“boleh
tolong dipanggilin ?”
“faizal,
ada di pemakaman.”
“malam-malam
gini ? kalau boleh tau pemakaman siapa bu ?” tanya zinetta. Aku tak mengerti
mengapa ibu itu berbohong. Jelas-jelas aku ada disini, diantara mereka.
“pemakaman
faizal.” Jawab ibu itu, ia meneteskan airmata. “kemarin malam dia dipukuli
orang di bar. Ibu nggak tau siapa, tadi polisi menelpon, mereka bilang sudah
berhasil menangkap pelakunya. Tapi ibu belum sempat pergi kesana.”
“Ibu
serius ? fa.. faizal meninggal ?”
“nggak
ta, aku disini. Disamping kamu. Jangan percaya sama ibu itu.” Teriakku. Aku
mencoba menyentuh tangan zinetta. Tapi aku merasa seperti tak memiliki tangan.
Aku tak bisa menyentuhnya.
“Jawab
bu, ibu bercanda kan ?” tanya zinetta lagi. Tangis ibu itu semakin menjadi.
Zinetta berlari meninggalkan toko
mainanku. Bahkan payungnya pun tertinggal, ia basah kuyup lagi. Aku mencoba
meraih payungnya, tapi benar-benar tak tersentuh.
Aku berlari mengejar zinetta. Ia
masuk kedalam taksi, untunglah aku sempat ikut masuk kedalam taksi tersebut.
“Kantor
polisi, pak.” Ucap Zinetta.
“kamu
mau ngapain kekantor polisi ta ?” tanyaku. Ia mengacuhkanku.
Hujan
diluar semakin deras, kilat menyambar berkali-kali, suasana menyeramkan. Aku
benci suasana ini.
“stop
disini pak.” Ucap Zinetta ketika taksi kami akhirnya berhenti didepan sebuah
kantor polisi.
Zinetta segera berlari masuk ke
kantor polisi.
“pak,
tersangka yang mukulin Faizal di Bar dimana ya ?”
“Oo,
masuk aja mbak ke ruangan itu.”
“makasih
pak.”
Zinetta masuk kedalam ruangan yang
ditunjuk polisi tadi. Aku masih mengikutinya. Aku terkejut ketika mengetahui
Handy and the gank ada didalam ruangan itu.
“Handy
?”
“Zinetta
?”
“kamu
ngapain disini ?”
“pake
nanya. nggak tau apa kalau ini semua gara-gara cowo baru lo itu ?”
“cowo
baru ? siapa . . .”
“alaaah,
nggak usah sok innocent gitu deh ta. Cowo lo tu yang nyerang gue duluan.
Makanya gue sama temen-temen jadi mukulin dia dibelakang bar.”
“apa
? ja.. jadi kamu yang mukulin faizal ?”
“oh,
jadi namanya faizal ?” tanya handy. Zinetta tersenyum.
“jadi
ini yang namanya zinetta ? cewe yang kamu bilang payah dan nggak asik itu yank
?” ucap pacar baru Handy. Aku muak melihat mereka. Aku pergi keluar ruangan
itu, dan duduk di ruang tunggu di luar kantor polisi.
“Tuhan,
jadi aku benar-benar sudah meninggal ? tapi kenapa tubuhku masih gentayangan ?”
Tanyaku dalam hati. Tiba-tiba Zinetta duduk disebelahku. Ia menangis.
“Faizal,
kamu kok senekad itu sih ?” ucapnya, matanya menerawang langit-langit di ruang
tunggu. “harusnya kamu nggak ke bar malam itu. Harusnya kamu tau kalo aku punya
niat mau mutusin Handy. Dan yang harus kamu tau, aku pengen mutusin Handy
karena kamu. Karena aku... pengen pedekate sama kamu. Karena aku... aku suka
sama kamu.”
Aku tersenyum, meskipun menyesal.
Ternyata pertemuan malam itu adalah pertemuan pertama dan terakhir aku dan
Zinetta. Tapi aku tetap tersenyum, karena aku tau Zinetta juga suka sama aku.
Kubiarkan tubuhku melayang di udara.
Aku tau, yang membuat aku penasaran adalah bagaimana perasaan Zinetta ke aku.
Dan sekarang aku tau jawabannya. Aku harus pergi.
«T«H«E««E«N«D«
Tidak ada komentar:
Posting Komentar